I wrote this opinion around the ending of 2008. I just found it when I was searching another file. So sorry if this write-up is in Bahasa Indonesia. This opinion was published in local newspaper. Hopefully, you can enjoy it…
—————————————————————————————————————————————————————————
Krisis Keuangan AS Bukanlah Kegagalan Kapitalisme
Oleh: Rayenda Brahmana *
Setelah krisis ekonomi yang dimulai sejak era krisis bunga tulip di tahun 1637, krisis perdagangan pelayaran tahun 1720, hingga krisis moneter asia tahun 1997, tampaknya tahun 2008 akan dicatat menjadi era krisis lainnya. Tampilan kinerja pemerintah Indonesia yang mampu masuk di 20 teratas negara dengan produk domestik bruto terbesar tidak tampak karena isu krisis global ini.
Hampir semua analis mengakui krisis ini dimulai dari runtuhnya perkreditan hipotek yang melanda dunia. Dampaknya juga tidak tanggung-tanggung. Hampir semua negara Industri hingga negara miskin di hajar oleh krisis yang dimulai dari AS ini. Di Inggris misalnya, RBS dan Northern Rock, dua raksasa perbankan di Inggris, menjadi lunglai akibat krisis pekreditan ini. Di AS, perusahaan raksasa seperti Merryl Lynch, Pimco, BOA, HP AIG dan Merryl Lynch hingga bankrutnya Lehman Brothers, menjadi bukti lain atas dahsyatnya krisis ini.
Di Eropa, tidak hanya industri perbankan yang terguyur dampak krisis. Perusahan perakitan mobil Opel juga terimbas oleh krisis global ini. Bahkan, Sekjen PBB Ban Ki-Moon juga mencemaskan krisis ini juga akan menyapu negara-negara dunia ketiga yang notabene adalah negara-negara miskin.Semua mulai berpikir dan berduga, “Inikah awal dari runtuhnya Kapitalisme?”.
Penyanggahan Pertama
AS dan Eropa Barat dijustifikasi sebagai lambang kapitalisme. Ini mungkin disebabkan oleh sejarah perang dingin yang menempatkan AS sebagai blok kapitalis dan Uni Soviet sebagai blok Komunis. Runtuhnya sistem ekonomi AS yang selama ini terkenal sebagai negara yang setia dengan ekonomi pasar bebas seolah-olah bukti atas kegagalan kapitalisme. Beberapa analis dan pengamat ekonomi bahkan setuju kalau krisis kredit hipotek dan perbankan di AS akibat terlalu bebasnya sistem pasar di AS. Padahal faktanya adalah sebaliknya.
Krisis kredit perumahan dan perbankan secara jelas adalah kegagalan sosialisme, bukan kapitalisme. Merunut dari sejarah perkreditan perumahan di AS, Fanni Mae dan Freddie Mac (perusahaan penjamin hipotek di AS) dibentuk dengan tujuan agar setiap warga AS memiliki kesempatan yang sama untuk memperoleh tempat tinggal yang layak dan para pembayar pajak membantu mereka mewujudkannya. Jelas ini adalah sebuah gagasan sosialisme, bukan kapitalisme
Penyanggahan Kedua
Intervensi pemerintah AS, dalam hal ini the Fed, kepada pasar dapat menjadi bukti atas gagalnya sosialisme, bukan kapitalisme. Pertama, pembentukan institusi bank sentral secara jelas adalah penistaan ekonomi pasar bebas. Di pasar bebas, setiap permintaan dan penawaran tercipta bukan karena “pancingan” dari pemerintah tetapi tercipta sendiri oleh tangan yang tidak tampak.
Kedua, intervensi pemerintah dalam bentuk bantuan bank sentral bukanlah wujud kapitalisme. The Fed telah berhasil menciptakan permintaan yang artifisial bukan permintaan yang nyata dari pasar. The Fed menyuplai uang imajiner yang diperlukan kepada para peminjam sub-prime loan.
Di ekonomi pasar bebas, permintaan yang muncul adalah permintaan akibat keinginan untuk membeli produk tersebut bukan kemampuan untuk melakukan pembelian. Sementara intervensi dari the Fed menyebabkan munculnya permintaan yang diciptakan bukan permintaan versi kapitalisme. Dengan intervensi suplaian uang imajiner ini ditambah dengan likuiditas yang juga buatan menyebabkan permintaan yang artificial. Inilah awal dari penggelembungan di pasar hipotek AS.
Lebih penting lagi, ini semua muncul dari ide pemerataan kesejahteraan yang nota bene sangat bertentangan dengan ide kapitalisme.
Penyanggahan Ketiga
Beberapa pengamat dan analis setuju bahwa krisis kredit perumahan dan perbankan adalah salah satu perhentian terakhir dari idealisme kapitalisme. Lagi, pernyataan ini salah.
Sejak jaman merkantilisme di abad ke 15, dunia telah banyak di hajar oleh krisis. Namun kelebihan dari ekonomi pasar bebas adalah daya adaptasi yang besar. Terlebih lagi di AS, krisis perbankan adalah sebuah siklus buat mereka. Tahun 1980an, terjadi krisis pinjaman dan tabungan. Solusi dari pemerintah AS kala itu adalah reformasi perbankan dengan beberapa regulasi yang baru. Hal yang serupa ketika krisis 2001 yang disebabkan kasus enron dan worldcom muncul pemberlakuan Sarbone-Oxley. Ini adalah bukti adaptasi yang hebat dari kapitalisme dan sangat diragukan “kematiannya”.
Ini juga menunjukan bahwa secara historis, peristiwa yang terjadi adalah sebuah siklus ekonomi. Jika belajar dari tahun 1929, 1997, ataupun 2001, dapat terlihat krisis – krisis yang terjadi adalah sebuah siklus, yang jika ditangani tanpa intervensi pasar melainkan dengan regulasi baru, akan kembali dari awal dan sehat.
Selain itu, nama – nama seperti Warren Buffet ataupun Benjamin Graham yang terkenal dengan value investing-nya tidak akan menjadi super kaya jika tidak ada siklus ini. Lihat saja langkah terbaru Buffet yang langsung membeli GE, Conoco Phillips, dan UPS ketika pasar sedang jatuh. Ini adalah bukti bahwa krisis ini bukanlah perhentian terakhir dari kapitalisme melainkan sebuah siklus ekonomi.
Jalan Ketiga Giddens dan Solusi Austria
Dugaan lain penyebab krisis ini timbul adalah Jalan Ketiga (The Third Way) yang diambil AS sejak jaman Bill Clinton. Jalan ketiga merupakan gagasan yang ditemukan oleh Anthony Giddens di tahun 1998. Inti dari Jalan ketiga adalah pengembangan teknologi, pendidikan, dan intervensi mekanisme pasar yang kompetitif dengan tujuan perlindungan ekonomi.
Selain Tony Blair dan Bill Clinton, Fernando Cordoso (Brazil), Marianne Jelved (Denmark), Ferenc Gyurcsany (Hungaria), Mir Khan Zamali (Pakistan), dan Wim Kok (Belanda) adalah contoh kepala pemerintahan yang juga menggunakan Jalan ketiga di negaranya masing-masing.
Jauh sebelumnya, ketika Tony Blair dan Bill Clinton mencanangkan penggunaan Jalan ketiga, Republik Ceko sudah memperingatkan negara – negara Eropa Barat dan AS. Ditilik dari sejarah Cekoslovakia di tahun 1960an, negara bekas komunis ini mencoba menerapkan penggabungan antara sosialisme dengan kapitalisme. Sosialisme diterapkan dengan alasan kemanusian dan pemerataan kesejahteraan dan sementara Kapitalisme diterapkan dengan alasan mengejar ketertinggalan ekonomi. Tidak lama kemudian, intervensi pemerintah dalam ekonomi pasar ternyata virus bagi negara Cekoslovakia. Hal inilah yang tidak dipelajari oleh AS.
Selain itu, jauh sebelum terjadinya krisis di AS, ekonom di Austria telah memikirkan hal ini. Austria melakukan tindakan yang sama sekali bertentangan dengan kebijakan anti-ekonomi pasar ala AS. Langkah yang diambil oleh Austria adalah mempermudah regulasi bisnis terutama regulasi pasar tenaga kerja. Selain itu, Austria mempermudah realokasi sumber daya manusia dari satu entitas ke entitas lain. Austria tidak langsung mengintervensi pasar seperti yang dilakukan AS. Ketika ekonomi riil kelihatan kokoh dan mantap, maka pasar finansial tidak akan panik seperti sekarang ini.
Bukan Kegagalan Kapitalisme
Jika kita belajar dari sejarah panjang krisis finansial yang melanda negara adidaya seperti AS dan Eropa Barat, langkah apa yang harus ditempuh oleh pemerintah Indonesia? Ekonomi syariah ataupun ekonomi kerakyatan yang terus dikumandangkan beberapa schollars dari Indonesia mungkin dapat menjadi langkah alternatif.
Jika belajar dari situasi ekonomi AS, kita bisa memetik satu hal penting disini yakni: krisis finansial yang melanda AS bukan diakibatkan sebuah penerapan kapitalisme murni melainkan kapitalisme yang terlalu banyak intervensi pemerintah. Krisis finansial AS yang sedang terjadi di sepanjang tahun 2008 ini bukan pula bukti atas kegagalan kapitalisme. Lebih tepat lagi, krisis finansial AS sekarang diakibatkan oleh penyanjungan kita atas sisi humanisme dalam sosialisme.
*Kandidat PhD di USM Malaysia dan
Pendiri Financial Market Community
Unpad
Great review,
Menurut gw, krisis di amerika memang bukan disebabkan oleh kegagalan konsep kapitalisme or price-drive market. Tapi lebih kepada kultur spekulasi yang sangat melekat di orang2 yang menconsider diri mereka penganut paham kapitalisme. Sekali lagi, ini perilaku. Apalagi kultur tersebut melekat pada orang2 yg memiliki informasi lebih dari yang lain.
Sebagian orang, menganggap, bahwa dengan “disisipkan” nya nilai2 sosial ke dalam konsep kapitalisme dapat meredam perilaku tersebut.
Orang2 yang memiliki informasi lebih atas sesuatu, cenderung utk mengambil untung dari posisi tersebut. If you have the chance to benefit, doesn’t matter whether it will harm others or not, will you take it?
That’s why kemarin Goldman Sachs dikambing hitamkan krn mereka dianggap salah satu yang pertama menjual produk MBS yang bermasalah itu. They know yet they still did it. Eh2, sekedar intermezzo, tau kan lo kalo ISRAEL adalah salah satu, if not the only country, yang tidak menjual belikan mortgage securities? gw baca interview Finance Minister nya di Newsweek. DAMN!
Anyway, Sering kali, bagi penganut faham pasar bebas (seperti elo), government intervention itu dipandang sebagai pengganggu. Terutama dengan kenyataan bahwa intention doesnt always followed by preferred outcome. Gov sometimes, merely political rather than rational. Pasti elo setuju.
Unless you have ways to control those, some people say “greed”, behaviour, we would certainly encounter crisis cycle regularly. Trend nya tiap dekade ya? I dont know.
Anyway, inget what Gordon Gekko’s wise quote? “greed is good”