Mencegah Kerugian Brain Drain

Mencegah Kerugian Brain Drain

Rayenda Khresna Brahmana

Isu brain drain menjadi diskusi yang hangat di Indonesia. Beberapa milis organisasi pelajar Indonesia di luar negeri memperguncingkan isu ini. Kepalang tanggung, I-4 (Ikatan Ilmuwan Indonesia Internasional) pun dibentuk sebagai salah satu upaya mencegah brain drain di Indonesia.

Brain Drain adalah keadaan di suatu negara yang mengalami migrasi kaum intelektual ke luar negeri. Fenomena Brain Drain pertama kali diperkenalkan oleh Royal Society untuk menggambarkan fenomena migrasi kaum teknokrat Inggris ke Amerika Utara pada era tahun 1950an. Saat ini, China, India, Pakistan, dan Iran terkenal sebagai negara pengekspor kaum intelektual ke negara – negara maju di AS maupun Eropa Barat. Tulisan ini akan mengulas lebih lanjut dampak dari Brain Drain dan cara penanggulangnya.

Umumnya, brain drain memberikan tiga bentuk kerugian bagi negara pengekspor. Pertama, brain drain menyebabkan kelangkaan SDM ahli. Hijrahnya kaum intelektual ke luar negeri menyebabkan kurangnya tenaga ahli di dalam negeri. Untuk mengatasi jurang antara kebutuhan industri dan kelangkaan SDM ahli, negara yang terkena brain drain harus merogoh kocek sangat dalam untuk membayar ekspatriat. Tentu saja, membayar para ekspatriat juga akan berimbas pada lemahnya produk domestik bruto negara. Negara – negara Afrika mengalami kerugian hingga sekitar 38 trilyun rupiah setiap tahun akibat brain drain. Negara jazirah Arab harus merogoh kocek hingga 200 milyar dolar juga akibat brain drain.

Kerugian kedua bagi negara ekspor adalah terhambatnya proses transfer teknologi. Kekurangan tenaga ahli di dalam negeri membuat para investor tidak berani berinvestasi teknologi tinggi. Terlebih lagi bagi industri yang mengandalkan pada penelitian dan pengembangan seperti farmasi, kimia olahan, hingga perangkat lunak, maka brain drain yang besar akan mencegah transfer teknologi ke dalam negeri. Kurangnya tenaga ahli akibat brain drain memaksa para investor untuk menggunakan jasa kaum ekpatriat. Hal inilah yang memotong transfer teknologi ke dalam negari melalui mekanisme adopsi dan adaptasi.

Kerugian terakhir adalah rendahnya modal intelektual negara pengekspor. Modal intelektual adalah satu pemicu kebangkitan industri (Bennet, 2005). Banyak kaum intelektual di Indonesia yang melakukan riset atas nama negara lain. Sebut saja Yanuar Nugroho yang mendapatkan dosen terbaik University of Manchester, atau Nelson Tansu yang menjadi professor termuda di AS, atau Ken Soetanto yang menjadi wakil dekan di Universitas Waseda Jepang. Kecilnya jumlah publikasi dan paten internasional akan mengurungkan niat investor untuk menanamkan modal di Indonesia.

Yuan (1992) menyatakan ada 5 faktor utama penyebab dari brain drain, yakni: keunggulan fasilitas belajar dan riset di luar negeri, prospek karir yang lebih cerah di luar negeri, tingkat pendapatan dan penghargaan yang lebih tinggi, kepuasaan dalam pekerjaan, dan desakan dari keluarga inti. Lebih lanjut lagi, Yuan (1992) memberikan 5 faktor utama yang memotivasi intelektual untuk pulang ke negara asal, yakni: patriotisme, perasaan bersalah, rindu terhadap keluarga, tersedianya pekerjaan yang sesuai, dan rasa nasionalisme.

Berdasarkan penelitian ini, penulis mengajukan 5 langkah penanggulangan brain drain yakni: Penempatan kerja, asistensi kewirausahaan, program visiting professor, asistensi rekrutmen, dan penumbuhan rasa nasionalisme.

Penempatan kerja. Pemerintah di Meksiko, Kuba, dan Taiwan, menerapkan program penempatan kerja untuk mencegah brain drain. Meksiko misalnya, pemerintahnya menggunakan anggaran khusus untuk membangun labotarium canggih sehingga ilmuwan Meksiko mau pulang ke tanah air mereka. Pemerintah Kuba menyediakan pekerjaan bagi dokter – dokter Kuba yang berada di AS agar mau pulang ke tanah air. Para dokter ini tidak hanya bekerja di RS ataupun mengajar di universitas, juga dikirim kembali ke RS luar negeri atas nama pemerintah Kuba.

Asistensi kewirausahaan. Kredit lunak kepada para ilmuwan untuk mengembangkan industri juga diperlukan. Pemerintah India memberikan kredit lunak untuk mendorong para ilmuwan membangun silicon valley tandingan di Banglore. Pemerintah Taiwan juga memberikan dana kewirausahaan hingga USD 300 ribu untuk menarik para ilmuwan. Hal ini lebih merangsang perekonomian daripada menerima ekses negative Brain Drain.

Program visiting professor. Jika banyak ilmuwan Indonesia di luar negeri, pemerintah melalui universitas dapat menjalankan program visiting professor. Para ilmuwan di luar negeri digaji ekuivalen dengan gaji di luar untuk mengajar dan mengadakan riset di dalam negeri. Hal ini dilakukan oleh pemerintah China, Iran, dan India sebagai transfer ilmu dan juga proses adaptasi di negara asal. Bahkan di tahun 2000, pemerintah China berhasil mencapai angka 5,000 ilmuwan pulang ke tanah air sebagai visiting professor dan hal ini berdampak terhadap jumlah publikasi dan kemajuan penelitian di China.

Asistensi rekrutmen. Beberapa ilmuwan yang berada di luar negeri tidak pulang karena masalah ketiadaan pekerjaan di tanah air. Pemerintah harusnya membantu para kaum intelektual dalam hal rekrutmen. Pemerintah Afsel dan Malaysia memberikan jaringan lapangan pekerjaan secara online untuk para ilmuwannya. Di Indonesia, British Council membantu WNI lulusan Inggris untuk mendapatkan pekerjaan dengan mengadakan Job Fair tahunan. Hal ini haruslah dicontoh oleh pemerintah Indonesia.

Nasionalisme. Faktor lain yang harus ditumbuhkembangkan adalah nasionalisme. Berdasarkan Yuan (1992), nasionalisme adalah faktor terpenting dalam menarik ilmuwan kembali ke tanah air. Pemerintah Taiwan dan China menggunakan program keteladanan untuk menarik para ilmuwan. Promosi tentang pentingnya keberadaan ilmuwan untuk memajukan bangsa menjadi cara untuk menumbuhkembangkan rasa nasionalisme. Di dalam program keteladanan, para birokrat dan pemimpin negara memberikan sosok keteladanan yang nantinya akan menyentuh sense of belonging para ilmuwan di luar negeri.

Jika pemerintah mau menjalankan 5 langkah penanggulangan tersebut, pelaku brain drain secara alamiah akan kembali ke tanah air dan mempercepat kemajuan bangsa. Indonesia diharapkan akan memiliki keunggulan kompetitif melalui peningkatan transfer teknologi dan investasi industri berteknologi tinggi dengan adanya reverse brain drain. Selain itu, reverse brain drain diharapkan juga dapat meningkatkan indeks pembangunan manusia Indonesia dan juga produk domestik bruto Indonesia. Sekarang, semua terpulang kepada niat pemerintah Indonesia.

Published by:

Rayenda Brahmana

About research: google scholar: https://scholar.google.com/citations?hl=id&user=jlvpW3QAAAAJ&view_op=list_works&sortby=pubdate https://publons.com/researcher/1457129/rayenda-brahmana/ Others: twitter: @raye_brahm instagram: kolom.riset email: kolom.riset(at)gmail.com raye_brahm(at)yahoo.com

Categories Current Issues2 Comments

2 thoughts on “Mencegah Kerugian Brain Drain”

  1. kalo kita tanya pada fresh graduate berapa gaji pertama mereka, kadang kita kaget, apa begitu susahnya dapet kerja di Indo sehingga para bos dengan high profilenya cuma mau ngasih gaji segitu, ketika ketemu yang gajinya lumayan biasanya kerjanya rodi.

    Udah nature dari manusia untuk ngelihat ke “greener pasteures.” Sehingga at least bila seseorang yang nasionalis sekalipun bila dihargai gak pantas cepat atau lambat akan kabur juga.

    1. Hehe… benar banget… ^_^
      Hal ini semakin diperparah ketika seseorang yang pengen mengabdi ke negara dengan hidup kekurangan tapi diganjal karena beragam faktor. Misalnya, uang pelicin, ga punya kenalan di dalam, atau mungkin mental ga berani bersaing….
      Main dong ke http://www.rayebrahm.com. blog ini sebenarnya mau gue tutup kalau website itu dah benar2 establish… hehehe… thanks buat commentnya ^_^

Leave a Reply

Fill in your details below or click an icon to log in:

WordPress.com Logo

You are commenting using your WordPress.com account. Log Out /  Change )

Facebook photo

You are commenting using your Facebook account. Log Out /  Change )

Connecting to %s