Kontroversi Kampanye Perubahan Iklim

This is my article regarding climate change campaign controversy in economic perspective. It was published in one newspaper in 6 March 2010. Hopefully, you can enjoy it.

Kontroversi Kampanye Perubahan Iklim

Rayenda Khresna Brahmana

Kontroversi climategate semakin mempertegas dugaan konspirasi atas kampanye perubahan iklim (Climate Change Campaign). Bagai setitik nila, kasus ini ditakuti akan menurunkan legitimasi rencana perdagangan emisi karbon yang telah direncanakan selama 1 windu. Kasus climategate bermula dari email Prof.Jones dari University of East Anglia, Inggris Raya kepada Prof Mann dari Pennyslavania State University, Amerika Serikat. Isinya adalah ”Saya telah menyelesaikan trik milik Mike di Nature dengan cara menambahkan suhu yang riil dalam tiap serial data untuk 20 tahun terakhir (sejak 1981); dan sejak tahun 1961 punya Keith untuk menyembunyikan kecenderungan turunnya suhu” (The Economist hal 91, edisi 28 Nov-4 Des 2009).

Sebelumnya, kampanye perubahan iklim dan juga rencana perdagangan emisi karbon menjadi isu abad millennium. Beberapa penelitian menunjukan pentingnya isu ini bagi kehidupan. Rose (2007) menemukan bukti bahwa perdangan emisi karbon mendorong pemerintah dan masyarakat menjadi sadar lingkungan, dan beberapa peraturan pemerintah menjadi lebih populis.

Beberapa peneliti berargumen bahwa perdagangan emisi karbon sangatlah penting bagi negara – negara berkembang. Corong (2007) menemukan bukti bahwa perdagangan emisi karbon mampu mengurangi tingkat kemiskinan. Ellerman dan Decaux (2007) menemukan bahwa perdagangan emisi karbon mampu meningkatkan pendapatan per kapita penduduk negara berkembang. Namun, dibalik semua bukti pendukung betapa hebat dan pentingnya kampanye perubahan iklim dan perdagangan emisi karbon, beberapa aktivis berpendapat bahwa semua kampanye hanyalah modernism lainnya dari dunia barat. Bahkan, beberapa berpendapat bahwa kampanye ini hanyalah konspirasi dunia barat.

Konspirasi Kampanye Perubahan Iklim

Beberapa aktivis dengan lantang menyatakan bahwa kampanye perubahan iklim adalah konspirasi dari kelompok – kelompok dari industri, sains, dan politikus. Industri memerlukan ceruk pasar baru yang berlandaskan ramah lingkungan. Ilmuwan memerlukan dana riset untuk tetap hidup. Tentu saja politikus bersama media membutuhkan cerita baru yang mampu menarik perhatian masyarakat.

Kontroversi akan semakin memperuncing konspirasi setelah tidak ada jawaban kolektif dari ilmuwan yang menyatakan perubahan iklim disebabkan oleh tindak tanduk manusia. Hingga saat ini, tidak ada jawaban yang pasti tentang perubahan iklim, hilangnya salju di kutub utara, atau bahkan semakin dinginnya beberapa wilayah di dunia.

Ekses Negatif Kampanye Perubahan Iklim Secara Ekonomi

Salah satu solusi dari kampanye perubahan iklim adalah penerapan pajak karbon. Tahun 2007, konsep ini pernah ditawarkan di Indonesia oleh Wapres saat itu, Bapak Jusf Kalla. Tanpa sadar, konsep pengurangan emisi karbon dengan cara menerapkan pajak atas emisi karbon akan semakin menggerus kesejahteraan rakyat. Secara ekonometrik, Pendapatan sama dengan Konsumsi ditambah Tabungan dikurangi Pajak. Jika sisi Pajak semakin besar, maka jumlah untuk konsumsi ataupun tabungan semakin kecil. Ini menandakan pengurangan tingkat kesejahteraan. Terlebih lagi, sejarah telah membuktikan, penerapan pajak hanya memiliki dua dampak. Pertama, pajak hanya memancing keributan domestik yang kadang kala berujung revolusi. Kedua, pajak hanya menggerus kekayaan individu tapi tidak korporat. Oleh karena itu, penerapan pajak sebagai salah satu bentuk kampanye haruslah dihentikan demi kesejahteraan rakyat.

Isu lainnya adalah sumber tenaga alternative ramah lingkungan. Salah satu solusi yang ditawarkan dalam kampanye perubahan iklim adalah penggunaan sumber tenaga alternatif seperti Geothermal, Nuklir, Angin, Matahari, Jarak, dan Kelapa Sawit. Tenaga nuklir tidak populer. Tenaga angin tidak memberikan daya listrik yang besar. Tenaga surya dirasakan terlalu mahal. Hingga sekarang, Jarak dan Kelapa Sawit menjadi solusi terbaik sebagai sumber tenaga alternatif. Untuk memperoleh tenaga alternative berasal dari jarak dan kelapa sawit, beberapa hutan harus dialihfungsikan menjadi lahan komersil. Dampaknya adalah: kehilangan ketersediaan air bersih asli dan mahalnya harga pangan. Hilangnya air bersih memaksa pemerintah untuk mengswastakan penyediaan air bersih dan proses sanitasi air laut menjadi air bersih. Artinya, masyarakat harus mengeluarkan uang lebih hanya untuk air bersih. Selain itu, secara alamiah, meningkatnya permintaan atas sumber tenaga alternatif, menurunnya lahan untuk pangan, dan meningkatnya jumlah penduduk akan berdampak pada mahalnya harga pangan. Jika harga air dan harga pangan semakin meningkat, tingkat kesejahteraan penduduk juga berkurang. Apakah kita sudah siap untuk trade-off kesejahteraan kita dengan permasalahan perubahan iklim di dunia?

Ekses negatif lainnya dari kampanye perubahan iklim adalah miskinnya transfer teknologi. Dalam skema kampanye perubahan iklim, negara yang memiliki hutan besar seperti Brasil dan Indonesia akan dikompensasi oleh negara – negara industri atas tiap karbon yang diabsorpsi oleh hutan. Misalnya, dengan harga 20 dolar per ton karbon, Indonesia mampu menyerap 1000ton karbon, dan Inggris memiliki ekses karbon sebesar 1000ton karbon, maka Inggris membayar kompensasi kepada Indonesia sebesar 20ribu dolar. Skema ini terlihat adil. Sayangnya, skema ini sangat merugikan negara – negara yang menjaga hutan.

Skema ini merugikan negara yang memiliki hutan dalam sudut pandang transfer teknologi. Seacara implisit, negara hutan diberi tanggungjawab untuk tidak mendirikan industri dan hanya menjaga hutan. Sementara, industri diperlukan negara untuk transfer teknologi. Transfer teknologi memiliki beberapa dampak baik bagi negara seperti: meningkatnya indeks pembangunan manusia, meningkatnya tingkat gini, meningkatnya investasi teknologi tinggi, penyerapan tenaga kerja ahli, peningkatan kualitas perguruan tinggi hingga pencegahan migrasi kaum intelektual dalam negeri. Artinya, nilai transfer teknologi jauh lebih mahal daripada sekedar kompensasi karbon. Kompensasi karbon in harus ditolak kecuali negara masih ingin tetap menjadi negara terbelakang.

Kampanye perubahan iklim seharusnya tidak diterima secara gamblang. Harus ada pertimbangan serius dari pemerintah mengenai keikutsertaan dalam kampanye ini. Semoga pemerintah mampu melihat sisi lainnya dari kampanye perubahan iklim dan perdagangan emisi karbon. Sehingga Indonesia tidak selalu berada di posisi yang selalu dirugikan. Sisi pengurang kesejahteraan, biaya hidup yang mahal, dan transfer teknologi harusnya menjadi perhatian pemerintah dalam berpartisipasi pada kampanye tersebut.

Published by:

Rayenda Brahmana

About research: google scholar: https://scholar.google.com/citations?hl=id&user=jlvpW3QAAAAJ&view_op=list_works&sortby=pubdate https://publons.com/researcher/1457129/rayenda-brahmana/ Others: twitter: @raye_brahm instagram: kolom.riset email: kolom.riset(at)gmail.com raye_brahm(at)yahoo.com

Categories Current Issues1 Comment

One thought on “Kontroversi Kampanye Perubahan Iklim”

  1. sependapat dengan anda, saya melihat kebanyakan orang saat ini asal ada embel2 green maka itu yang diutamakan, baik dalam proses maupun produk.
    Padahal, tidak semuanya yang go green itu benar-benar asli. Saya melihat kecenderungan produsen mencanangkan green2an ini biar produknya laku, mengejar pasar yang sedan nge tren go green walaupun sebagian besar pasar itu sendiri cuma ikut-ikutan tanpa memiliki pengetahuan yang memadai.

Leave a Reply

Fill in your details below or click an icon to log in:

WordPress.com Logo

You are commenting using your WordPress.com account. Log Out /  Change )

Facebook photo

You are commenting using your Facebook account. Log Out /  Change )

Connecting to %s