A week ago, I planned to submit my paper to Humanomic, an International journal that covering the rlationship between sociology and economics. I got an idea about the relationship between religion freedom and economics when I was preparing the tutorial of Macroeconomics. It is an interesting Idea. However, as I have many things to do such as: monitoring the exam, tutoring, papers, thesis, SLEEPING, BADMINTON-ing, FACEBOOK-ing etc, I told to myself how about I just write an opinion article and send it to a newspaper? Moreover, after I read my friend (Domingus Elcid Li) article in newspaper, it was just a “green light” for me to write the article.
Then, I wrote the article. The title is Freedom, Welfare, and Indonesia. In a brief, it discuss about the relationship between Press Freedom, Economic Freedom, and Religion Freedom and Welfare. Some more, I related it with Indonesia situation. It published in Analisa on 24 February 2011. Indeed, I am so glad with it.
I post the article here. But, So sorry, it was written in Indonesia Language. All the best!
Kebebasan, Kesejahteraan, dan Indonesia
Oleh: Rayenda Brahmana
Tahun 2011 dibuka dengan gaungan suara kebebasan. Dari demonstrasi besar-besaran di Tunisia hingga jatuhnya Husni Mobarak di Mesir, ataupun kasus Cikeusik dan Temanggung di Indonesia, semua memiliki tujuan yang sama yakni kebebasan.
Singkatnya, kejadian-kejadian ini mengingatkan kita bahwa kebebasan adalah hal yang paling hakiki untuk setiap manusia. Bila diusik, hal tersebut akan menjadi problema dalam kehidupan bermasyarakat.
Kebebasan pun acap kali dipisahkan dari dimensi ekonomi. Seolah-olah kebebasan hanya satu ruang tersendiri yang terpaut jarak dengan ruang ekonomi, terutama kesejahteraan. Gagasan dasar bahwa kebebasan individu akan memajukan kesejahteraan rakyat pun terlupakan. Sebuah ide yang dilupakan oleh pemerintah kita akhir-akhir ini.
Kebebasan Ekonomi dan Kesejahteraan
Di pembukaan UUD Indonesia, salah satu tujuan Negara adalah rakyat yang makmur, dan sentosa. Secara sempit, rakyat yang makmur dapat diukur oleh pertumbuhan ekonomi yang pesat dan tentu saja distribusi kekayaan yang adil. Adam Smith dalam “An Inquiry into the Nature and Causes of the Wealth of Nations” menjelaskan bagaimana jaminan dalam kebebasan berekonomi akan menghasilkan Negara yang makmur. John Stuart Mill pun mendengungkan hubungan antara kebebasan dengan kesejahteraan melalui pendekatan utilitarian.
Di Indonesia sendiri, kebebasan ekonomi sebenarnya adalah barang yang langka. Merunut pada ranking Freedom House, kebebasan ekonomi Indonesia bukanlah pada posisi yang bagus. Rezim orde baru telah mengajarkan pengusaha Indonesia bahwa seberapa keras pun berusaha, kita akan kaya jika dekat dengan penguasa. Jika kita kembali membuka buku teori mikroekonomi untuk mahasiswa tingkat pertama, sangat jelas termaktum bahwa kekuatan monopoli berada pada tawaran dagang antara pengusaha dan penguasa (baca: pemerintah). Maka tidaklah heran kasus Lapindo di Jawa Timur, kasus tambang Mangan di NTT, ataupun kasus pengalihan tanah negara menjadi ladang sawit menjadi contoh sederhana bagaimana terkekangnya kebebasan ekonomi di Indonesia.
Hubungan antara kebebasan ekonomi dan kesejahteraan merupakan talian klasik dalam ekonomi. Haan dan Sturm (2000) menjelaskan bahwa semakin tinggi kebebasan ekonomi yang diberikan dan dijamin oleh pemerintah, semakin cepat akselerasi ekonomi dan tingkat kesejahteraan suatu negara. Pemerintah harus menjamin kebebasan ekonomi dengan tidak membagi-bagi “kue ekonomi” pada lingkaran tertentu, jaminan terhadap pedagang kaki lima, pemberantasan premanisme, jaminan atas hak berdagang, dan tentu saja pro terhadap pedagang kecil dan menengah. Hal yang dilakukan Malaysia dan Vietnam beberapa tahun belakangan untuk memicu pertumbuhan ekonomi dan kesejahteraan rakyat.
Kebebasan Pers dan Kesejahteraan
Bentuk kebebasan lainnya adalah kebebasan Pers. Semenjak keran demokrasi dibuka pada era reformasi, kebebasan pers di Indonesia menjadi tumbuh subur. Ini menunjukkan bagaimana Indonesia mampu memainkan demokrasi dengan baik. Winston Churcil, Perdana Menteri Inggris semasa Perang Dunia II, menyatakan demokrasi dalam bentuk kebebasan berekspresi dan kebebasan pers mampu memicu pertumbuhan ekonomi. Hal ini tentu bertolak belakang dengan negara-negara di Jazirah Arab, Singapura, dan bahkan Malaysia. Menariknya, bukti empiris juga menunjukkan hubungan terbalik antara kebebasan pers dengan kesejahteraan. Dutta and Roy (2009) menunjukkan jika semakin tinggi kebebasan pers suatu negara, semakin kecil jumlah investasi yang masuk. Ini berarti jika Indonesia memiliki tingkat kebebasan pers yang tinggi, jumlah investasi yang masuk ke Indonesia akan semakin rendah. Tentu saja hal ini menjelaskan mengapa negara-negara dengan tingkat kebebasan pers yang rendah memiliki Investasi Langsung Luar Negeri (Foreign Direct Investment) yang besar. Ini juga menjelaskan mengapa pada rezim orde baru, jumlah penanaman modal asing di Indonesia sangat besar.
Selain itu, Coyne and Leeson (2005) juga menjelaskan hubungan inversal antara kebebasan pers dengan kesejahteraan rakyat. Artinya, semakin tinggi kebebasan pers, semakin kecil kesejahteraan rakyat. Namun, dibalik itu semua, bukti empiris juga menunjukkan semakin tinggi kebebasan pers semakin besar tingkat distribusi kekayaan. Ini menjelaskan mengapa sejak era reformasi distribusi kekayaan penduduk Indonesia (Tingkat Gini) semakin baik, bahkan terbaik ke dua di ASEAN setelah Singapore.
Secara singkat, kebebasan pers memiliki dampak yang negatif terhadap pertumbuhan ekonomi dan investasi dari luar negeri. Namun, kebebasan pers sangat efektif untuk menciptakan keadilan ekonomi yang merata. Sehingga, kebebasan pers memiliki dua efek yang harus dipikirkan pemerintah secara masak. Jangan lupa juga, semasa rezim Soeharto, pengekangan kebebasan pers memang memicu pertumbuhan ekonomi, namun juga memicu ketidakadilan sosial.
Kebebasan Beribadah dan Kesejahteraan
Kebebasan beribadah di Indonesia menjadi topik hangat akhir-akhir ini. SKB 3 menteri memicu beberapa kerusuhan seperti di Bekasi, Cikeusik, dan Temanggung. Hasilnya adalah pembakaran Masjid, penutupan Gereja, ketakutan semasa beribadah, hingga rasa curiga satu sama lain. Budaya toleransi yang seharusnya mendarah-daging di bangsa Indonesia serasa hilang. Dari bangsa yang ramah, kita berubah menjadi bangsa yang brutal. Tentu saja salah satu penyebabnya adalah ketidaktegasan pemerintah dalam menjamin kebebasan beribadah. Tulisan ini tidak akan membahas penyebab ataupun solusi mengenai kebebasan beribadah di Indonesia, melainkan menunjukan bagaimana dampak dari ketidakbebasan beribadah terhadap kesejahteraan.
Gagasan hubungan antara Agama dengan kesejahteraan dijelaskan secara gamblang oleh Max Webber dalam The Protestant Ethic and the Spirit of Capitalism, dan juga Ibn Khaldun dalam Muqaddimah. Logikanya adalah Agama sebagai kepercayaan menjadi nilai, norma, dan perilaku dalam kehidupan sehari-hari . Kebebasan beribadah menjadi media untuk lebih bertakwa dan mendalami nilai-nilai dalam agama seperti kejujuran, integritas, dan kerja keras. Nilai-nilai ini lah yang memicu pertumbuhan ekonomi dan menjadi roh dalam kesejahteraan yang madani. Lavoie dan Wright (2000) dan juga Barro dan McCleary (2003) menjelaskan dengan baik bagaimana nilai spiritual dalam agama diejawantahkan menjadi roh kewirausahawan atau enterprising spirit. Maknanya ialah agama, melalui nilai dan normanya, memicu kesejahteraan rakyat.
Selain itu, kebebasan beribadah memiliki hubungan secara langsung dengan pertumbuhan ekonomi. Alon dan Chase (2005) membuktikan bagaimana jaminan terhadap kebebasan beribadah mendorong tingkat kesejahteran. Hal yang berbeda kita temui di Indonesia. Kasus Cikeusik, Temanggung, hingga Pasuruan harusnya menyentil pemerintah tentang kebebasan beribadah. Jika hal ini terus berlangsung, tanpa ada ketegasan dari pemerintah, bukan tidak mungkin jumlah investasi dan pertumbuhan ekonomi semakin menurun. Pemerintah harus tegas dalam menjamin kebebasan beribadah jika memang menginginkan terciptanya tujuan negara yakni rakyat yang adil, makmur, dan sentosa.
Saran
Jaminan kebebasan di Indonesia tertuang secara jelas di pembukaan UUD 1945. Tidak hanya itu saja, kayanya ragam seni tari dan budaya tradisional di Indonesia menjadi bukti begitu bebasnya bangsa kita dalam berekspresi dan menuangkan ide kreativitas. Namun, akhir-akhir ini, kebebasan seolah-olah hanyalah terdiri dari dua titik ekstrem: terlalu bebas atau tidak bebas sama sekali. Pemerintah pun seolah tidak melakukan tindakan preventif atau persuasif untuk mengajarkan WNI makna kebebasan, kebebasan yang bertanggung jawab.
Terjejas secara gamblang bagaimana kebebasan mampu mempengaruhi kesejahteraan. Kebebasan ekonomi dan kebebasan beribadah yang tinggi mampu mendorong kesejahteraan rakyat. Bisnis kroni atau kolusi dalam satu lingkaran saja akan membawa Indonesia ke jurang kemiskinan. Begitu juga dengan kebebasan beribadah. Semakin tinggi jaminan pemerintah menjamin kebebasan beribadah, semakin tinggi kemungkinan untuk datangnya investasi asing ataupun meningkatnya kesejahteraan penduduk. Sebagai catatan kecil, kebebasan pers yang terlalu besar ternyata mempunyai dampak pada penurunan kesejahteraan. Ini mengingatkan kita bahwa transparansi dan masyarakat yang terbuka (open society) memiliki ekses yang negatif terhadap pertumbuhan ekonomi dan penanaman modal asing. Tapi, pemerintah juga jangan melupakan bahwa kebebasan pers pula yang membawa Indonesia ke arah kesejahteraan yang adil dan merata. Artinya, pemerintah harus mampu menjaga tingkat kebebasan pers untuk mencapai tujuan negara yang tertuang di pembukaan UUD 1945. Singkat kata, pemerintah harus tegas dan lugas dalam menjamin kebebasan ekonomi, kebebasan beribadah, dan kebebasan pers demi Indonesia yang lebih baik.***