Oleh: Rayenda Brahmana*
Apa yang bisa kita pelajari dari film X-Men: The Last Stand (2006)? Film tersebut menceritakan gagalnya pemerintah AS untuk menerapkan peraturan pengobatan para mutan. Sederhananya, gagalnya penerapan kebijakan tersebut karena pemerintah melupakan perilaku para mutan dalam mengambil keputusan. Ternyata, lebih banyak mutan yang sudah bisa menerima diri mereka apa adanya daripada mutan yang ingin menjadi manusia normal.
Di dunia nyata, beberapa kebijakan publik yang berhasil adalah kebijakan yang berbasiskan hasil pengamatan perilaku keputusan. Contohnya, Lee Kuan Yew, mantan Perdana Menteri Singapura, menerapkan kebijakan publik berbasiskan denda untuk menertibkan penduduknya. Menurutnya, penduduk Singapura takut kehilangan uang jerih payah mereka hanya karena masalah yang sebenarnya mudah untuk dilakukan (contohnya mengantri, tidak meludah, dan membuang sampah pada tempatnya).
Kebijakan publik yang berdasarkan observasi perilaku menjadi tren yang menarik untuk saat ini. Buku “Nudge” karya Profesor Richard Thaler asal University of Chicago merupakan referensi yang tepat untuk menunjukan pentingnya kebijakan publik yang berdasarkan perilaku masyarakat. Contohnya, kebijakan Jaminan Kesehatan era George Bush yang gagal karena tidak melihat lebih dulu perilaku orang lanjut usia yang selalu berpikir praktis. Begitu juga dengan temuan Profesor Annamaria Lusardi dari University of Darthmouth yang menunjukan perilaku ketidakmelekan masyarakat terhadap keuangan adalah penyebab kenapa kebijakan penggalakan asuransi dan investasi pasar modal selalu buruk.
Di tataran negara, pengamatan perilaku dan kebijakan publik sudah diterapkan oleh berbagai bangsa. Barack Obama, selain pernah memiliki seorang professor perilaku keuangan sebagai penasehat, Profesor Cass Sunstein, juga mengakui bahwa hampir semua kebijakannya berdasarkan ilmu pengamatan perilaku keputusan (decision making behaviour). Swedia, Australia, dan Inggris raya secara sukses mengurangkan jumlah perokok, pesakit tuberculosis (TBC), jumlah orang obesitas, dan jumlah pesakit malaria dengan cara membuat kebijakan berbasiskan perilaku masyarakat. Lalu bagaimana dengan Indonesia? Apakah berhasil? Apa penyebabnya? Benarkah observasi perilaku adalah solusinya?
Gagalnya Kebijakan Publik di Indonesia
Secara teoritis, kegagalan kebijakan publik lebih disebabkan oleh kesalahan asumsi. Kebijakan publik mengasumsikan bahwa setiap individu akan selalu rasional dalam mengambil keputusan. Ini artinya setiap individu adalah seorang utilitarian yang berfokuskan fungsi. Misalnya, untuk mencegah macet maka dibuatlah jalur busway dengan asumsi masyarakat memerlukan transportasi hanya untuk ke tempat kerja. Tapi melupakan keengganan menggunakan busway karena masalah harga diri atau kenyamanan pribadi dengan membawa kenderaan pribadi.
Begitu juga dengan kebijakan kenaikan Tarif Dasar Listrik (TDL) dan BBM. Jika pemerintah sadar perilaku reaktif masyarakat Indonesia, sebelum kenaikan TDL dan BBM, ada baiknya pemerintah mensosialisasikan alasan kenapa harus dinaikan. Kampanye kepetingan Negara untuk ikat pinggang seperti era Soeharto ketika krisis moneter adalah salah satu contoh yang harusnya ditiru. Contoh lainnya adalah rencana kebijakan mobil nasional (mobnas). Apakah Indonesia sudah mengetahui perilaku pengambilan keputusan pembelian mobil masyarakat? Apakah benar jika ada mobnas, maka masyarakat akan membelinya dibandingkan mobil luar? Benarkah keputusan pembelian penduduk Indonesia lebih disebabkan keputusan hedonis (hedonic utility decision) yang akan membeli mobnas karena keterikatan emosi? Jangan sampai kebijakan mobnas Indonesia gagal seperti di Cina yang pangsa pasarnya dikuasi oleh mobil eropa. Perlu diingat juga, jika mobnas gagal, Indonesia tidak bisa seperti Malaysia yang memberlakukan diskriminasi pajak terhadap mobil luar karena hampir semua mobil luar diproduksi di Indonesia.
Langkah Awal
Tentu saja akan sangat sulit mengubah kebiasaan konvensional pembuat kebijakan. Terlebih lagi hal ini juga terhitung baru di negara – negara maju. Langkah paling awal yang bisa dilakukan adalah berkolaborasi dengan akademisi. Lihat saja bagaimana Barak Obama menggunakan jasa para profesor ilmu perilaku demi keberhasilan implementasi peraturan yang ada. Malaysia pun sama. Untuk kebijakan ekonomi baru terutama Malaysia Koridor Utara dan Malaysia Koridor Barat, pemerintah bekerjasama dengan universitas – universitas lokal untuk memetakan perilaku masyarakat Malaysia di bagian semenanjung utara dan semenanjung barat.
Selain itu, sebelum membuat kebijakan, ada baiknya pemerintah melakukan beberapa eksperimen di luar uji publik. Inggris melakukan studi eksperimental untuk meningkatkan jumlah pembayar pajak. Mereka bereksperimen dengan mengirim surat ke 140ribu pembayar pajak secara acak. Menggunakan norma dan rasa malu sebagai variabel manipulasi, eksperimen ini menghasilkan peningkatan pembayaran pajak sebanyak 15 persen. Ketika disimulasikan ke dunia nyata, Dirjen pajak Inggris mengalami peningkatan sebanyak 30juta poundsterling pendapatan pajak.
Melakukan eksperimen terlebih dahulu akan jauh lebih ekonomis daripada langsung menerapkan kebijakan publik. Lihat saja berapa uang yang terbuang atas kegagalan konversi minyak tanah ke gas. Atau kebijakan tergesa-gesa menaikan harga BBM yang bukan hanya memicu gejolak politik tapi juga inflasi reaktif.
Langkah awal lainnya adalah mencari para ahli perilaku dan menjadikan mereka sebagai mitra kerja pemerintah dalam merencanakan kebijakan atau peraturan. Pemetaan kebiasaan, komposisi demografi, sejarah perilaku, dan perilaku pengambilan keputusan dapat dilakukan oleh pemerintah dengan dua cara. Pertama, bermitra dengan universitas atau lembaga penelitian, atau yang kedua, seperti pemerintah Amerika, Inggris, dan Israel yang menarik para ahli ilmu perilaku (ekonomi perilaku, psikologi ekonomi, pemasaran sosial, sosiologi, dan antropologi) ke dalam bagian dari pemerintah. Bersama mereka, pemerintah bisa melakukan studi eksperimental mengenai satu kebijakan sebelum dilempar ke pasar.
Konklusi
Studi eksperiment sebelum membuat kebijakan adalah hal yang sangat jarang di lakukan pemerintah Indonesia. Penerapan kebijakan kadang-kadang terkesan memaksakan atau sekedar kepentingan politis segelintir orang. Mereka melupakan kebijakan tersebut menyangkut banyak hal. Selain masalah biaya, tentu juga modifikasi perilaku masyarakat.
Singkatnya, studi eksperiment atas perilaku pengambilan keputusan penting buat para pembuat kebijakan. Pemerintah harus mampu mengeluarkan usaha yang lebih, tidak terburu-buru apalagi berdasarkan kepentingan sesaat, politis, dan pribadi. Pemerintah harus lebih giat bereksperimen secara ilmiah terlebih dahulu untuk mempelajari perilaku masyarakat sebelum menerapkan peraturan. Sebab, kebijakan yang baik akan menciptakan kondisi Negara yang baik, tertib, dan maju.