Kampanye pemilihan presiden (pilpres) Indonesia sudah dimulai. Setiap calon presiden (capres) mencari cara untuk menarik suara rakyat Indonesia agar dipilih pada tanggal 9 Juli mendatang. Apa lacur, bukan adu argumentasi atas visi, misi, atau rencana strategis pembangunan Indonesia yang ditonjolkan, tetapi serangan personal, mulai dari latar belakang agama, sejarah masa lalu, atau pun kepahaman atas perihal teknikal administrasi Negara. Sun Tzu dalam art of the war menuliskan “Untuk memenangkan pertempuran, Jika lawan adalah orang yang mudah marah atau tersinggung, berusahalah untuk mengganggu dia. Berpura-puralah menjadipihak yang lemah, supaya ia bisa tumbuh sombong dan kehilangan akal”. Apakah strategi politik kebencian ini yang sedang dimainkan kedua capres?
Sejarah Kebencian
Sejarah menunjukan kebencian adalah awal dari setiap perang besar. Kebencian kurawa terhadap Pandawa menghasilkan perang kurusetra. Kebencian terhadap kaum Yahudi menghasilkan holocaust anti-semit di 1930an. Kebencian terhadap hegemoni Amerika Serikat menghasilkan peristiwa 9/11 World Trade Centre. Kebencian antara suporter tim sepak bola Liverpool dan Juventus menghasilkan insiden Heysel 1985. Kebencian terhadap ketimpangan sosial terhadap etnis Tionghoa menghasilkan kerusuhan 97/98.
Apa yang menyebabkan kebencian? Studi di psikologi menunjukan kebencial merupakan hasil dari simpati atau respon terhadap tindakan buruk di sisi korban. Fehr and Schmidt (2001) menegaskan bahwa kebencian adalah output dari keinginan untuk menghukum orang-orang yang berperilaku tidak adil. Ketidakrasionalan ini lah yang menjadikan kebencian sebagai produk promosi para politisi dalam kampanye.
Kebencian sebagai Strategi Promosi
Studi di bidang pemasaran menunjukan kebencian dapat menjadi strategi pemasaran yang baik. Contohnya saja, Klein et al (1998) membuktikan sentimen penduduk Cina terhadap Jepang akibat ekses dari perang dunia yang menghasilkan keengganan penduduk Cina menggunakan produk Jepang. Setali tiga uang dengan riset tersebut, studi dari Singapura oleh Ang et al (2004) juga menunjukan tingkat kebencian yang besar terhadap produk-produk Jepang oleh penduduk Korea, atau terhadap produk-produk AS oleh penduduk Indonesia akibat peristiwa Krisis Moneter dan invasi Israel di Palestina.
Studi tersebut konsisten dengan kasus-kasus riil yang ada. Misalnya, gerakan nasionalis penduduk Negara Cina melawan Jepang yang dimulai dari tahun 2011 membuat penjualan mobil Jepang di Cina menurun drastis. Gerakan boikot “Boycott, Divestment, and Sanction” (BDS) terhadap Israel membuat masyarakat London mencabut iklan turisme Israel, dan memaksa Dexia, perusahaan keuangan Belgia-Perancis, memberhentikan jasa keuangan untuk Israel. Lebih ekstrim lagi, sengketa Vietnam-China di Laut Cina Selatan, tidak hanya sekedar memboikot produk Cina, tetapi sampai memboikot bekerja di pabrikan milik negeri tirai bambu tersebut. Kasus-kasus tersebut menguatkan bahwa kebencian dapat menjadi strategi pemasaran yang efektif.
Penggunaan kebencian sebagai bagian dari kampanye politik sudah digunakan juga oleh beberapa Negara. Misalnya saja Malaysia yang menggunakan pertempuran rasial sebagai media kampanye politik. Begitu juga dengan Australia menempatkan isu kebencian terhadap imigran sebagai isu untuk menarik massa. Perancis juga menggunakan isu “budaya dan agama” untuk menempatkan posisi di hati para pemilihnya. Pilihannya menjadi pilu dan tragis: “kamu benci dia, kamu pilih saya”. Karena keterikatan emosional dan irasionalitas, pemilih pun termakan oleh strategi ini.
Kebencian dan Politik Indonesia
Politik kebencian sebenarnya bukan hal yang baru di Indonesia. Contohnya saja, grasak-grusuk FPI atas kehadiran anggota DPR RI dari PDIP, Ribka Tjiptaning Proletariati, sebagai keturunan PKI. Ada juga menyebar kebencian atas nama agama, seperti penolakan terhadap Basuki Tjahaja atau lebih dikenal sebagai Ahok ketika masa kampanye pilkada gubernur DKI yang lalu. Untuk kasus Sumatera Utara, pilkada gubsu kemarin sempat dihebohkan oleh spanduk-spanduk tidak bertanggungjawab yang mengajak orang Melayu untuk tidak mencoblos calon tertentu. Begitu juga dengan pilkada bupati Karo 2010 yang dihebohkan oleh kampanye hitam untuk tidak memilih pasangan tertentu karena takut dominasi suku tertentu di Kabupatan Karo.
Begitu juga di kampanye pilpres kali ini. Kubu Jokowi-JK dihantam dengan isu-isu boneka, antek asing, Islam-KTP, atau pun keturunan Cina. Kubu Prabowo-Hatta dihantam dengan isu-isu duda, HAM, atau bahkan mismanajemen hutang. Tujuannya hanya sekedar menimbulkan prasangka buruk, kecurigaan, penolakan, dan kebencian terhadap calon tertentu. Logikanya sederhana: kamu benci capres itu, kamu jangan pilih dia, tapi pilih jagoan saya.
Bagai bola liar yang panas, rasa benci itu menggelinding kemana-mana. Media sosial pun menjadi sarana terbaik menyebarkan rasa benci ini dan berhasil mengkotak-kotakan pemilih. Ada grup pendukung setia pasangan Prabowo-Hatta, ada juga grup pendukung setia pasangan Jokowi-JK. Bukannya menyebarkan visi-misi-renstra calon yang mereka dukung, tapi menyebarkan segala informasi yang boleh membuat orang lain membenci rival calon mereka.
Lalu siapa yang diuntungkan oleh politik kebencian ini? Tentu saja yang paling diuntungkan oleh politik kebencian ini adalah para politikus di lingkar 1 capres tersebut karena jagoan mereka menang. Usai pilpres ini, kita semua kembali menjadi warga Negara biasa, yang memang terbiasa dibuai oleh janji para politikus.
Siapa pula yang dirugikan oleh politik kebencian ini? Kita! Kita warga Negara biasa yang dirugikan. Dukungan kita yang berlebih terhadap calon tertentu dapat menghilangkan silaturahmi dengan orang lain atau kawan kita. Kenapa? Karena kita sudah mengotakan diri di kotak satu, sementara kawan kita berada di kotak kedua. Lebih ekstrimnya lagi, politik kebencian ini berpotensi mengakselerasi bentrokan antara kedua pendukung di lapangan. Belajar dari peristiwa-peristiwa sebelumnya, pendukung salah satu calon pemimpin menjadi lebih sensitif ketika berhadap dengan pendukung lain terutama jika jagoannya kalah. Tentu kita masih ingat kasus Empat Lawang, Probolinggo, ataupun Palopo. Bayangkan saja kemungkinan yang akan terjadi jika rasa tidak siap kalah itu ditambah dengan politik kebencian.
Stop Politik Kebencian
Lalu, apakah solusi untuk politik kebencian ini? Pertama, adalah tugas pemerintah, terutama Depkominfo, untuk mengedukasi para pemilih untuk tidak terlarut dalam politik kebencian ini. KPU dan Banwaslu juga pro-aktif bukan saja mengedukasi masyarakat tentang politik yang santun, tetapi juga mengingatkan, mengawasi, dan mengambil tindakan terhadap kedua tim kampanye untuk bermain lebih sopan dengan mengedepankan etika, sopan santun, dan norma. Tentu saja, kedua kandidat presiden beserta tim kampanyenya harus sadar tentang dampak dari Politik Kebencian ini. Bagaimana mungkin kita memilih pemimpin bangsa yang suka menyebarkan kebencian?
Solusi terakhir dari politik kebencian datang dari diri kita sendiri. Pertama, mari hentikan partisipasi dalam menyebarluaskan kampanye hitam. Jika kita masih ragu informasi itu benar atau tidak, atau apakah sumber berita kredibel atau tidak, lebih baik kita tidak ikut di arus politik kebencian. Tahan diri kita. Kedua, jika kita sudah memiliki jagoan untuk pilpres mendatang, mari kita sebarkan visi-misi-renstra dari capres kita, lalu secara argumentatif yang baik dan santun, kita adu dengan capres yang satu lagi. Terakhir, kita hukum capres yang memainkan politik kebencian sebagai isu sentral kampanye mereka dengan tidak memilih pasangan capres tersebut. Mari kita dewasa dalam berdemokrasi, berpartisipasi secara santun dalam prosesnya, dan tolak politik kebencian!
Terima kasih untuk uraian ini. Politik memang hampir selalu memberikan rasa yang pahit, namun bukan berarti harus ditambah lagi dengan perilaku yang tajam dan menyerang. Seperti saya sudah tulis dalam Bisikan Tentang Cinta, Bangsa, dan Dunia, kita perlu lebih dewasa dalam mencermati informasi dan meresponinya dengan kritis. Sayang sekali, mayoritas penduduk Indonesia belum mampu bersikap demikian.