Belajar Perilaku Keuangan dari Kasus GameStop

Kali ini, gue mau bahas Kasus GameStop 2021 dari sudut pandang keuangan perilaku (Behavioural Finance). Kenapa? Karena kasus GameStop ini secara terang benderang menunjukan irasionalitas di pasar.

Namun, sebelum kita bahas kasus GameStop lebih lanjut, kita bahas dulu kenapa irasionalitas sangat penting di strategi investasi. Abis situ, kita bahas kasus GameStop, dan diakhir dengan mengkaitkannya dengan bias psikologi.

So, ilmu ekonomi dan keuangan itu mengasumsikan bahwa setiap keputusan keuangan itu ialah rasional. Buat teman-teman yang kuliah di Fakultas Ekonomi & Bisnis, terutama yang ngambil mata kuliah pengantar ekonomi ataupun manajemen keuangan, pasti diajarin oleh dosennya, kalau semua teori ekonomi dan keuangan itu mengasumsikan pengambilan keputusan yang rasional.

Nah, karena semua pelaku pasar diasumsikan rasional, maka pasar akan menjadi efisien. Kalau pasar efisien, maka ga ada ceritanya kita bisa dapat abnormal return apalagi memprediksi arah pasar. Singkat cerita, pergerakan pasar akan menjadi acak kalau pasar itu efisien (istilah kerennya random walk).

Balik ke cerita GameStop.

GameStop ini sebenarnya ga bagus kinerja keuangannya. Akibatnya, banyak investor institusional pasang posisi “short” atau sederhananya posisi jual. Kok posisi short? Ya tadi itu, asumsinya kan pasar efisien, artinya kinerja GameStop yang ga bagus seharusnya buat harga sahamnya turun. Apa itu strategy shorts? Pasang posisi jual di harga atas, lalu ntar beli di bawah. Kalau bingung tentang short sales, bisa buka di tautan ini.

Lalu, ada sekelompok kecil “gamers” yang tergabung di forum Reddit bernama WallStreetBets ngelihat perilaku tersebut. Buat mereka, perilaku tersebut ialah perilaku tidak terpuji. Masak kan ngambil cuan di perusahaan yang hampir kolaps? Apalagi, perusahaan tadi adalah perusahaan yang mereka “sayangi”. Mereka bahkan bilang kalau perilaku shorts yang dilakukan institusional ialah bukti nyata untuk bagaimana kapitalisme bekerja. Marah dong mereka. Lalu mereka buat gerakan untuk against the capitalism dengan mulai membeli saham GameStop.

Jadi udah kayak “perang” antara investor ritel dan institusi nih si saham GameStop. Yang Institusi melakukan shorts, dengan harapan nanti bisa beli lagi saham GameStop di harga rendah, sementara itu yang ritel, beli saham GameStop dengan harapan bisa jual sahamnya di harga yang lebih tinggi

Kemudian, muncul pula masalah baru yang ditimbulkan oleh perusahaan sekuritas daring bernama RobinHood. Perusahaan tersebut membatasi perdagangan saham GameStop. Heboh dong. Karena lagi perang gini, kok malah di-suspend aktivitasnya. Hebohlah kasus ini di sosial media. RobinHood sendiri ngasih penjelasan kalau mereka membatasi perdagangan saham GameStop karena mereka tidak memiliki cukup uang untuk menutupi semua perdagangan yang terjadi.

Karena udah heboh di publik, mulai lah terjadi arbitrase. Investor yang rasional mulai ngitung fair value si GameStop. Lambat laun, harga GameStop kembali ke titik nadirnya, dan banyak investor ritel yang membeli saham GameStop mengalami kerugian besar.

Kok bisa ya? Ya, karena memang GameStop ini secara fundamental memang buruk. Harganya naik ya karena investor ritel tadi emosian aja. Iya, harganya sempat naik, tapi abis itu turun tajam. Banyak yang sangkut, apalagi rugi.

Apa ada investor institusional yang rugi? Ada juga. Misalnya aja Melvin Capital Management, Citron Research, dan MapleLane Capital. Ga semua institusional itu pintar-pintar kok.

Lalu pelajaran apa yang bisa dipetik dari kasus GameStop secara keuangan perilaku?

Kelakukan investor ritel yang secara emosional masuk ke pasar membeli saham GameStop tanpa ada itung-itungannya, merupakan contoh Emotional Bias (Bias Emosional). Artinya, investor beli saham GameStop hanya karena ga suka aja ama investor institusional yang jadi makin kaya di tengah penderitaan si GameStop. Tapi ritel ini pada lupa, kalau GameStop sebenarnya memang ga bagus kinerja keuangannya.

Bias psikologi kedua ialah Herding-Regret Aversion. Istilah kerennya saat ini itu FOMO (Fear of Missing Out). Jadi, investor pada beli saham GameStop karena takut ketinggalan “kereta”. Pas GameStop ini jadi hype di 2021, harganya memang lagi naik tajam. Tentu saja banyak investor ritel melihat hal tersebut sebagai momentum yang bagus untuk ikut-ikutan beli saham GameStop. Padahal, mereka ga punya itung-itungan atau analisis tentang saham GameStop. Hanya pengen nimbrung aja, biar ntar ga nyesal.

Bias psikologi ketiga ialah Recency Bias. Artinya, investor ritel itu hanya liat pergerakan harga saham GameStop paling terbaru aja. Let say 1 minggu kebelakang. Mereka lupa kalau harga saham GameStop tersebut di-Zoom Out, harga sahamnya memang lagi trend turun. Yang jadi acuan beli mereka ialah pergerakan harga saham yang terbaru aja. Nah, ini disebut Recency bias.

Apakah ini artinya investor institusional rasional? Tentu saja tidak. Buktinya si Melvin, Citron, dan MapleLane merugi milyaran atau trilyunan rupiah. Kok bisa? Ini yang disebut dengan Loss Aversion. Investor institusional ngerasa pergerakan harga GameStop yang lagi naik (karena kan mereka shorts, dapat cuannya kalau GameStop turun) cuman sementara. Eh taunya, harganya terus naik. Mereka menghindari kerugian dengan cara menahan (HOLD) posisi shorts-nya gara gara takut kalau cutloss duluan.

Ada satu kisah yang jarang diceritakan di kasus GameStop. Sebenarnya, yang jadi pemenang di perang antara ritel dan institusional ini tetap institusional. Iya bener, ada institusional yang rugi, tapi ritel lebih banyak lagi yang rugi.

Kalau dikaitkan dengan teori pasar efisien (EMH), investor institusional tentu saja pengen pasar yang ga efisien. Biar bisa cuan gede. Supaya bisa cuan gede, ya buat pasarnya ga rasional. Kasus GameStop itu contoh bagaimana pasar jadi tidak rasional, dan tentu saja investor institusional meng-eksploitasi ketidakrasionalitasan itu, yang berujung ke cuan gede.

Published by:

Rayenda Brahmana

About research: google scholar: https://scholar.google.com/citations?hl=id&user=jlvpW3QAAAAJ&view_op=list_works&sortby=pubdate https://publons.com/researcher/1457129/rayenda-brahmana/ Others: twitter: @raye_brahm instagram: kolom.riset email: kolom.riset(at)gmail.com raye_brahm(at)yahoo.com

Categories UncategorizedLeave a comment

Leave a Reply

Fill in your details below or click an icon to log in:

WordPress.com Logo

You are commenting using your WordPress.com account. Log Out /  Change )

Facebook photo

You are commenting using your Facebook account. Log Out /  Change )

Connecting to %s