Jalan Berliku Buruh di Masyarakat Ekonomi ASEAN

Tulisan ini sebenarnya ditulis pas Hari Buruh. Terus ke delete postingannya. Hahaha…

Enjoy!

Jalan Berliku Buruh di Masyarakat Ekonomi ASEAN

Rayenda Khresna Brahmana

Hari buruh seharusnya bukan sekedar isu upah minimum ataupun isu buruh kontrak. Tarik menarik antara serikat buruh, pemerintah, dan industri tentang upah layak hidup seorang buruh membuat kita lupa pada hal yang jauh lebih penting lagi: posisi buruh Indonesia di Masyarakat Ekonomi ASEAN (MEA)

MEA sejatinya akan membentuk negara negara ASEAN sebagai pasar terintegrasi di sektor sektor prioritas, dan menjadi basis produksi yang kompetitif. Untuk menjadi produsen yang kompetitif ini, MEA belum memfasilitasi mobilitas buruh antar negara ASEAN, dan hanya menyediakan fasilitas mobilitas ketenagakerjaan kepada pekerja berprofesi (professional labour), dan ini pun terbatas pada bidang keinsinyuran (engineering), kebidanan, arsitektur, kedokteran, kedokteran gigi, pariwisata, penyelidikan (surveying), dan akuntansi. Ini artinya MEA hanya memberi kebebasan pergerakan para profesional dari negara anggota ASEAN untuk bekerja di negara ASEAN lainnya. Misalnya saja, arsitek dari Vietnam difasilitasi oleh pemerintah Indonesia untuk bekerja di Jakarta. Bisa juga dokter dari Laos difasilitasi pemerintah Malaysia untuk bekerja di Kuala Lumpur. Sementara itu, buruh ketrampilan rendah atau buruh kasar (low-skilled labour) tidak tercakup dalam fasilitas mobilisasi tenaga kerja di era MEA.

Hal ini tentu sedikit mengernyitkan dahi, mengingat jumlah tenaga kerja profesional tersebut hanyalah 1.5% dari pasar tenaga kerja ASEAN. padahal terdapat 87% buruh kasar di pasar tenaga kerja ASEAN. Lalu pertanyaannya adalah siapa yang paling diuntungkan? Apa efek dari diskriminasi MEA terhadap buruh? Apa peranan serikat buruh? Poin poin tersebutlah yang akan dibahas dalam tulisan ini.

Keuntungan Perusahaan

Perusahaan adalah pihak pertama yang paling diuntungkan di era MEA. Perusahaan akan mendapatkan tenaga kerja profesional yang lebih murah, dan tarif cukai yang lebih rendah. Bukan itu saja, transfer teknologi dan kompetisi akan memaksa perusahaan untuk lebih efisien, dan usaha pertama untuk menjadi efisien adalah menggantikan tenaga kerja kurang terampil dengan teknologi. Hal ini akan menyebabkan buruh kehilangan posisi tawar. Perlu diingat juga, dalil efisiensi dan produktivitas inilah yang digunakan perusahaan untuk mempertahanankan sistem kontrak kerja alih daya (outsourcing). Lebihan tenaga kerja yang tidak terserap ini tidak difasilitasi oleh MEA.

Buruh dan Daya Saing

Buruh juga akan menghadapi masalah daya saing dengan keberadaan MEA. Pertama, permasalahan pertumbuhan ekonomi Indonesia yang belum mampu menyerap tenaga kerja akan menyebabkan terbatasnya kesempatan kerja. Hal ini semakin menghilangkan posisi tawar para buruh di hadapan perusahaan karena terbatasnya permintaan tenaga kerja di Indonesia.

Kedua, rendahnya kualitas angkatan kerja dan produktivitas tenaga kerja Indonesia juga memarjinalkan posisi buruh. BPS menunjukan sekitar 46% tenaga kerja Indonesia didominasi oleh berpendidikan SD ke bawah. Ini menunjukan buruh Indonesia tidak akan berdaya di MEA. Bandingkan saja dengan Malaysia, Thailand, Vietnam, dan Filipina yang lebih memilih menjadi tenaga kerja profesional seperti insinyur, keperawatan, dan pariwisata. Apalagi dengan penjaminan MEA atas mobilitas tenaga kerja profesional, bukan tidak mungkin manajemen menengah (middle-management) perusahaan akan dikuasai oleh warga negara dari negara ASEAN lainnya. Lalu buruh Indonesia akan disupervisi oleh warga negara ASEAN lainnya. Hal ini tentu akan menyulitkan proses negoisasi buruh dalam hal kenaikan upah ataupun peningkatan fasilitas kesejahteraan buruh.
Buruh yang Terpinggirkan

Perlu diingat juga, posisi buruh di MEA memang terpinggirkan. Secara hukum misalnya, landasan hukum terkait penempatan tenaga kerja di luar negeri, UU No.39 tahun 2004,  masih tidak direvisi untuk lebih mengatur hak-hak dan jaminan perlindungan buruh migran dan keluarganya. Artinya, MEA tidak mendorong pemerintah untuk lebih melindungi tenaga kerjanya di negara ASEAN lainnya dengan mengkaji ulang undang undang tersebut. Ada juga UU No.2 tahun 2004 yang masih belum menjamin posisi buruh jika perusahaan pailit. Jika perusahaan bangkrut, buruh masih berada di rantai terbawah untuk pembagian sisa asset. Sementara itu, tenaga profesional dari negara ASEAN lainnya yang berada di Indonesia berada di urutan atas.

MEA juga belum mendorong pemerintah untuk memfasilitasi peningkatan status ekonomi para buruh. Hingga saat ini, pemerintah hanya memfasilitasi pelatihan buruh kurang terampil untuk lebih produktif, tetap tidak menyediakan fasilitas peningkatan status pendidikan seperti penyediaan paket kelompok belajar (kejar) A, B, dan C hingga universitas terbuka ataupun sekolah vokasional. Hal ini membuat buruh tidak merasakan adanya keuntungan apapun dengan ada dan tiadanya MEA.

Peranan Serikat Buruh

Dengan permasalahan di atas, serikat buruh seharusnya tidak menjadi gerakan yang sebatas menekan perusahaan dan pembuat kebijakan hanya untuk isu upah minimum dan kontrak kerja. Hari buruh di tahun pertama MEA harusnya memaksa serikat buruh untuk membantu dalam 4 hal. Pertama, UU untuk perlindungan buruh. Serikat buruh harusnya tidak hanya mendorong pemerintah untuk lebih memihak buruh dalam sistem kontrak kerja alih daya dan upah minimum. Serikat buruh harusnya juga mendorong keberpihakan pemerintah dalam menjamin hak hak buruh migran di luar negeri, dan posisi buruh dalam kepailitan perusahaan. Kekalahan uji materi UU No.2 tahun 2004 menunjukan pemerintah belum ambil peduli dengan posisi buruh meskipun dengan kehadiran MEA.

Kedua, penyediaan balai latihan dan sekolah vokasional yang gratis. Karena MEA hanya menyediakan mobilitas buruh semi terampil atau profesional, serikat buruh harus mendorong pemerintah memberikan fasilitas balai latihan dan sekolah vokasional yang menerbitkan sertifikasi. Hal ini dilakukan di negara Filipina dan Thailand. Sertifikasi tersebut membuka jalan untuk tidak sekedar menjadi buruh kasar, tetap semi terampil. Buruh pun nantinya memiliki kesempatan untuk meningkatkan taraf hidupnya, dengan bebas bekerja di negara ASEAN lainnya sebagai profesional seperti keperawatan, pariwisata, atau pekerja lapangan penyelidikan (surveyor).

Ketiga, pendidikan Kelompok Belajar (Kejar) paket A, B, C, dan universitas terbuka yang gratis untuk buruh dan keluarga buruh. Karena MEA hanya memfasilitasi mobilitas tenaga kerja profesional, serikat buruh juga memiliki kepentingan atas peningkatan edukasi para buruh. Biaya pendidikan yang mahal menyebabkan kaum buruh dan keluarganya tidak mampu untuk sekolah. Oleh karena itu, serikat buruh dapat menjadi kelompok penekan agar pendidikan gratis kepada buruh mulai kejar paket A, B, dan C, hingga universitas terbuka. Dengan tingginya pendidikan buruh dan keluarga mereka, hal ini memberikan kesempatan bagi mereka untuk mengubah nasib menjadi lebih baik.

Keempat, serikat buruh harusnya menekan pemerintah untuk memasukan mobilitas buruh dalam arus MEA. Posisi buruh migran yang selalu terpinggirkan di luar negeri, dan hilangnya posisi tawar akibat kurangnya lapangan kerja dapat diselesaikan dengan memasukan mobilitas tenaga kerja kurang terampil dalam mobilitas MEA. Hanya saja, memasukan mobilitas buruh dalam MEA, artinya buruh kita juga siap untuk berkompetisi dengan buruh dari negara ASEAN lainnya. Sebagai catatan, keuntungan buruh Indonesia di mata negara ASEAN lainnya selain murah dan terampil adalah komunikasi. Malaysia dan Singapura mengakui mengalami masalah dengan buruh kasar di bidang properti dan perkebunan karena kendala bahasa dan budaya. Ini adalah faktor yang menguntungkan buruh untuk disertakan dalam mobilisasi MEA.

Tentu saja solusi solusi ini adalah tantangan yang berat untuk buruh dan serikatnya. Ini adalah pekerjaan rumah yang banyak untuk serikat buruh karena MEA ternyata masih meminggirkan nasib para buruh. Isu posisi buruh di MEA bukanlah hal yang mustahil dan bukan pula hal yang mudah. Tapi yang terpenting untuk diingat oleh serikat buruh adalah MEA hanyalah jalan berliku para buruh untuk mendapatkan kehidupan yang setara dan layak. Selamat hari buruh!

Published by:

Rayenda Brahmana

About research: google scholar: https://scholar.google.com/citations?hl=id&user=jlvpW3QAAAAJ&view_op=list_works&sortby=pubdate https://publons.com/researcher/1457129/rayenda-brahmana/ Others: twitter: @raye_brahm instagram: kolom.riset email: kolom.riset(at)gmail.com raye_brahm(at)yahoo.com

Categories Current IssuesLeave a comment

Leave a Reply

Fill in your details below or click an icon to log in:

WordPress.com Logo

You are commenting using your WordPress.com account. Log Out /  Change )

Facebook photo

You are commenting using your Facebook account. Log Out /  Change )

Connecting to %s